Cari Blog Ini

Posting blogger lewat email

username.secretword@blogger.com

Kamis, 20 Februari 2014

Penguatan Rupiah

Penguatan Rupiah

BY FERRY IRWANTO
Salah satu karakteristik perekonomian sedang berkembang, termasuk di Indonesia, adalah cepat berubah (volatile). Begitu ada gejolak harga pangan dan bahan bakar, inflasi dengan cepat meningkat. Demikian juga ketika respons kenaikan suku bunga diambil, komplikasi di tempat lain terjadi, salah satunya berupa penguatan nilai tukar yang terlalu cepat. Ekonomi negara sedang berkembang memang selalu diwarnai berbagai kontradiksi yang memunculkan pilihan-pilihan dilematis. Dengan begitu, para pengambil kebijakan harus lebih jeli dan berhati-hati, tidak selalu hanya mengikuti irama negara maju.

Pengumuman kenaikan BI Rate sebesar 25 basis poin menuju 6,75% memicu aliran modal asing masuk ke Indonesia, sehingga pasokan valuta asing di pasar domestik bertambah. Akibatnya, nilai tukar rupiah menguat. Meski kemudian gejala ini “dimoderasi” oleh gejala melemahnya bursa di regional Asia; tren volatilitas nilai tukar terkait kebijakan moneter selalu tak terhindarkan. Bagaimana seharusnya kita bersikap?

Dari perspektif pelaku usaha, sebenarnya pokok perkaranya bukan pada apakah rupiah kemahalan atau kemurahan. Namun, jika perubahan terjadi secara signifikan dan mendadak, tentu akan merepotkan kalkulasi usaha mereka. Dengan begitu, perhatiannya bukan “apakah dolar AS akan berada pada level Rp 8.900 atau Rp 9.100”, tetapi pada “sebisa mungkin interval perubahan tidak terlalu drastis”. Kepastian adalah hal penting, karena tanpa kepastian, perencanaan dan kalkulasi bisnis tidak bisa dilakukan. Dengan demikian, kebijakan Bank Indonesia melakukan sterilisasi nilai tukar merupakan suatu keharusan (necessity), meskipun tidak cukup (insufficient).

Pertanyaan lain yang sering mengemuka adalah pada level berada seharusnya Bank Indonesia menjaga nilai rupiah? Ini pertanyaan yang rumit dijawab, karena ada dua pokok persoalan. Pertama, perekonomian Indonesia terbilang labil terhadap gejolak. Apalagi, di sektor keuangan, karakteristiknya kecil dan mudah berubah (small and volatile). Kedua, struktur industri masih bertumpu pada sektor-sektor primer, sementara sektor manufaktur cenderung tidak berkembang. Sebaliknya, dari waktu ke waktu proporsi sektor manufaktur justru cenderung menurun terhadap perekonomian. Karena itulah ada sejumlah pengamat mengindikasikan adanya  gejala de-industrialisasi.

Terhadap faktor pertama, tentu sulit mengendalikan nilai tukar jika karakteristik perekonomiannya begitu labil. Apalagi, mengingat instrumen keuangan masih terbatas (tradisional), investor asing akan cenderung keluar dan masuk dari pasar domestik bila ada perubahan. Perekonomian yang sektor keuangannya lebih maju menyediakan berbagai pilihan investasi, sehingga saat terjadi perubahan ada pilihan untuk bertahan dengan merubah portofolio investasi di pasar domestik. Tekanan pada nilai tukar pun akan relatif berkurang.

Terhadap faktor kedua, rupiah yang terlalu cepat menguat tentu akan merugikan penerimaan ekspor, karena ekspor masih didominasi produk-produk primer, yaitu batu bara dan minyak sawit mentah (CPO). Penguatan rupiah bukan saja menurunkan penerimaan masing-masing perusahaan (sisi mikro), tetapi juga penerimaan ekspor (sisi makro).

Dengan demikian, sebenarnya “pekerjaan rumah” yang harus dikerjakan, baik oleh pemerintah maupun Bank Indonesia, adalah mengatasi dua hal tersebut sekaligus. Pertama, meningkatkan kapasitas sektor keuangan terhadap perekonomian (financial deepening) yang ditandai semakin banyaknya derivasi instrumen investasi yang tersedia. Kedua, memperdalam struktur industri manufaktur agar lebih kuat, sehingga tiap peningkatan rupiah justru akan memberi angin segar pada sektor yang umumnya membutuhkan komponen impor ini.

Memperdalam struktur indutri bukan saja akan mengatasi dilema kebijakan nilai tukar, tetapi yang terpenting juga mengatasi kontradiksi pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, jika masih ditopang peningkatan ekspor komoditas primer, tidak terlalu berarti bagi penciptaan lapangan kerja dan penurunan angka kemiskinan, karena hanya akan menguntungkan segelintir orang. Fenomena kenaikan kesenjangan yang diukur dari peningkatan Gini Ratio yang menyertai peningkatan kinerja pertumbuhan sebesar 6,1% sepanjang 2010 merupakan salah satu simptom.

Artinya, tanpa upaya dalam perspektif jangka panjang, sebagai bangsa kita hanya akan selalu diombang-ambingkan oleh gejala jangka pendek. Kita begitu kerepotan, manakala terjadi kenaikan nilai tukar, padahal mestinya kondisi ini bisa menjadi momentum untuk membangun basis industri manufaktur di pasar domestik.
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/3222/Penguatan-Rupiah

Tidak ada komentar: