Cari Blog Ini

Posting blogger lewat email

username.secretword@blogger.com

Kamis, 05 November 2009

Format Skenario Film

Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine


Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine


Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine
Format Skenario Film
Agustus 10,
2008
Format skenario atau penyusunan skenario, bisa berbeda-beda tergantung gaya dan selera penulis skenario. Meski dari isi tidak banyak yang berbeda, format skenario memuat halhal sebagai berikut.

1 Judul Scene
Judul scena berisi: nomor scen;, keterangan luar/dalam ruangan biasanya memakai istilah exterior/interior, EXT/INT. ;keterangan yang menjelaskan tempat kejadian dan ruangnya, RUMAH MARKUS: RUANG TAMU; keterangan yang menjelaskan waktu kejadian, PAGI/ SIANG/ SORE/ MALAM (dalam penulisan internasional, keterangan waktu ini hanya dipakai DAY/NIGHT saja). Format tulisan di Indonesia biasanya memakai font Times New Roman, 12pt, Capital, Bold, Underline.

2 Nama Pemeran
Pada format penulisan internasional, nama pemeran tidak lazim dicantumkan. Tapi beberapa penulis di Indonesia sering mencantumkannya karena dianggap penting. Hal ini ada baiknya dan tidak ada salahnya memperlengkap tulisan kita, selain juga membantu kru, pemain, dan sutradara untuk mengetahui siapa saja pemain yang terlibat pada scene tersebut. Format penulisannya di bawah judul scene. Fon. Times New Roman, 12 pt, Capital.

3 Deskripsi Visual
Deskripsi ini berisi tentang keterangan suasana, tempat kejadian, dan peristiwa yang terkandung dalam scene tersebut. Contoh: Molam ini cuaca sangat buruk, hujan turun deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan, tampak di kejauhan YANI berlari menembus kegelapan..., dst.
Jika ingin menuliskan tentang tokoh lain dengan kegiatan yang berbeda, buatlah di baris yang baru, tulislah dengan format italic, untuk membedakan dari huruf yang lain. Semua huruf kecil, kecuali nama tokoh di dalam deskripsi tersebut buat dengan huruf besar. Font: Times New Roman, 12pt.

4 Tokoh Dialog
Bagian ini hanya menerangkan nama dari tokoh yang sedang berdialog. Bagian ini perlu dituliskan agar orang tahu bahwa dialog tertentu disampaikan oleh tokoh tertentu. Tuliskan dengan posisi agak ke tengah, sejajar dengan kolom dialog. Beberapa orang menulisnya pada posisi tepat di tengah. Font: Times New Roman, 12 pt, Capital, Bold.

5 Beat
Beat dalam istilah musik berarti irama/tempo. Istilah tempo dalam skenario tak jauh berbeda dengan musik, hanya penitikberatan irama/ tempo tersebut ada pada emosi inner action tokoh yang akhirnya tersirat dalam ekspresi. Wahyu Sihombing, dosen penyutradaraan di IKJ mengemukakan bahwa beat adalah kata kerja aktif yang berisi pikiran, perasaan, dan emosi tokoh. Beat inilah yang menjadikan dialog yang diucapkan dan laku yang digerakkan si tokoh jadi memiliki arti dan motivasi. Contoh, (menyesali perbuatannya), (menangisi ibunya), (memarahi adiknya), dll.
Beat biasanya dituliskan dalam kurung, huruf kecil, letaknya di bawah posisi tokoh dialog, sejajar dengan dialog, bahkan bisa menyelip di antara kalimat dalam dialog. Font Times New Roman, 12 pt.

6 Dialog
Di bagian ini berisi kalimat dialog yang nantinya akan diucapkan oleh pemain. Dialog dibutuhkan untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan gerak dan gambar. Dialog harus mendukung karakter dan cerita. Dialog harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut.

A Siapa yang berdialog?
Dialog harus disesuaikan dengan peran tokoh. Jika dia adalah seorang tokoh protagonis, jangan diberi dialog dengan ucapan yang bernada sinis, lebih-lebih sebuah umpatan. Sebaliknya jika dia adalah tokoh antagonis, tentunya tidak mungkin jika kata-kata yang diucap-kannya terkesan orang baik. Meski bukannya tidak mungkin muncul kata-kata manis dari tokoh antagonis, tapi mesti ada action yang menunjukkan ekspresi kelicikannya. Jika yang berbicara anak-anak, kata-kata harus menggunakan bahasa anak.

B Dengan siapa dia berdialog?
Kita harus paham hubungan antara tokoh yang satu dan tokoh yang diajak bicara. Cara berdialog pun harus kita sesuaikan. Pembicaraan antarteman, tentunya berbeda dengan pembicaraan antara orang tua dengan anaknya, atau antara guru dengan muridnya, atau juga antara suami dengan istrinya. Tak mungkin seorang murid memanggil gurunya, "Heh, sini dong.... Saya mau tanya nih!"

C Apa latar belakangnya?
Dialog tak boleh lepas dari latar belakang tokoh yang sedang berbicara. Cara berbicara seorang yang berpendidikan tinggi, berbeda dengan cara bicara orang yang berpendidikan rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Topik pembicaraannya pun pasti berbeda. Begitu juga dengan latar belakang budaya. Salah satu perbedaan misalnya bisa dilihat dari cara berbicara. Orang Jawa Timur yang diwakili oleh orang Surabaya memiliki cara berbicara yang lebih lantang dan terkesan apa adanya sehingga pilihan dialognya juga akan lebih dinamis dan praktis. Berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Tengah yang diwakili oleh orang Solo, akan berbicara lebih halus dan lambat, hingga pilihan dialognya pun cenderung banyak basa-basi. Contoh: Adegan seorang ibu sedang makan di rumahnya.
Santos dan Tejo, teman akrab anaknya baru datang. Santos adalah orang Surabaya, sementara Tejo adalah orang Solo. Ibu itu bermaksud menawari mereka makan dengan pertanyaan, "Kalian sudah makan...?"
Santos menjawab, "Belum, Bu."
Sementara Tejo, "Ah... nanti saja, Bu, masih kenyang".
Perhatikan perbedaan dialog dua tokoh tersebut. Jawaban mereka sama-sama
belum makan, tetapi pilihan kalimatnya berbeda.

D Di mana berdialognya?
Masalah tempat juga bisa menjadi hal yang penting saat membuat dialog. Kita berbicara di depan umum akan berbeda dengan saat kita berbicara di dalam ruangan. Contoh lebih konkret, bayangkan betapa akan berbedanya dialog pertengkaran sepasang suami istri di dalam kamar dengan di sebuah mal. Misalnya, seorang istri memergoki suaminya berduaan dengan seorang wanita di sebuah mal, kemarahannya kira-kira sebatas, "Kenapa Papa bisa berbuat setega ini pada Mama...? Ayo pulang, Pa! Kita bicarakan ini di rumah!" Suami yang kepergok paling Cuma bisa bilang, "Tenang, Ma, sabar.... Nanti Papa jelaskan." Tapi, begitu sudah sampai di kamar, si istri bisa saja berkata, "Pelacur dari mana yang Papa bawa tadi...?" Sementara jawaban sang suami di kamar bisa menjadi, "Selama ini kamu tidak bisa memuaskan saya. Apa salahnya saya mencari wanita lain?"
Contoh di atas tentunya bukanlah hal yang mutlak. Tetap harus dilihat latar belakang dari sepasang suami istri itu. Mengingat bisa saja ucapan yang terlontar kasar seperti itu, selain karena si istri yang pencemburu, juga akibat latar belakang pendidikan yang rendah, dan sebagainya. Yang pasti setiap penyimpangan yang akan dimunculkan, haruslah memiliki alasan yang jelas.

E Suasana hatinya bagaimana?
Membuat dialog juga perlu disesuaikan dengan suasana hati si tokoh yang berbicara. Jika tokoh sedang dalam keadaan gembira, pilihan kalimatnya pun tentu tidak bisa sedih. Contoh, si tokoh baru saja putus dari pacarnya. Siang harinya, seorang teman di kampusnya bertanya, "Mimin, Ema tadi ke mana ya...? Lihat nggak.” Jawaban si tokoh itu bisa saja, "Tau tuh". Padahal sebelumnya ada adegan si tokoh melihat Ema. Kekesalan
Mimin terhadap pacarnya, membuat ia malas berbicara.

F Apa tujuan dialog tersebut?
Pembuatan dialog juga perlu disesuaikan dengan tujuan si tokoh berbicara. Jika tujuannya
adalah untuk memohon sesuatu, tentunya bukanlah kata-kata pedas yang akan dipilih sebagai isi dialog. Atau, jika tujuannya adalah untuk mendidik tokoh lain maka pilihan dialognya pun harus bisa lebih bijak. Misalnya, seseorang yang hendak meminjam uang tentunya tidak bisa berdialog dengan kalimat, "Bisa nggak bisa, kamu harus menyediakan uang. Saya mau pinjam nih!" Pilihan dialog yang baik, "Bulan ini saya belum bayar listrik, telepon, dan air, saya tidak tahu harus cari ke mana. Kalau tak keberatan, mungkin kamu bisa membantu saya...?"
Dua perbedaan contoh tersebut bukanlah contoh mutlak karena bisa saja dialog pertama diucapkan oleh tokoh antagonis dengan sikap mengancam sehingga cara meminjam uangnya pun menjadi kasar. Dalam membuat kalimat untuk dialog, beberapa hal tadi haruslah menjadi pertimbangan. Namun yang perlu diingat, kalimat dalam dialog tidak perlu terlalu padat. Mengingat film dan sinetron lebih menekankan penyampaian dalam bahasa gambar, artinya apa yang bisa dituturkan lewat gambar tidak perlu lagi diterjemahkan lewat katakata.
Dalam membuat format skenario, dialog ditulis dengan huruf kecil, posisi agak ke tengah di bawah nama tokoh. Font. Times New Roman, 12 pt.

7 Transisi
Seperti halnya dalam istilah umum, transisi dalam skenario pun berarti peralihan, peralihan dari scenes satu ke scena berikutnya. Biasanya digunakan istilah Cut To, Fade Out-Fade In, atau Dissolve To. Tujuan transisi, selain menjadi pengait antara ending scenen sebelumnya dengan scene berikutnya, juga bisa mempunyai makna lain untuk adegan-adegan tertentu.
Misalnya, dalam adegan mimpi, kita memakai Dissolve To. Transisi ini ditulis dengan huruf kapital pada posisi di pinggir kiri/ kanan. Font. Times New Roman, 12 pt.

Sumber: Kuliah OnLine

Tidak ada komentar: